BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia dan
lingkungan merupakan dua unsur yang saling terkait yang tidak dapat dipisahkan.
Kehadiran manusia di bumi akan selalu berhubungan dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial untuk dapat mempertahankan hidupnya.
Dalam keadaan seimbang antara manusia yang menghuni bumi dengan kemampuan bumi
untuk menopang kehidupan, maka tidak akan terjadi kerusakan-kerusakan alam atau
kerusakan-kerusakan lingkungan.
Manusia
sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka
sendiri dan melestarikannya secara turun temurun. Budaya tercipta dari kegiatan
sehari-hari dan juga kejadian-kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Pembentukan kebudayaan dikarenakan manusia dihadapkan pada persoalan yang
meminta pemecahan dan penyelesaiannya. Kebudayaan meliputi segala segi dan
aspek dari hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Hadirnya
kebudayaan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat sering mempunyai aturan-aturan
atau tata nilai dalam bermasyarakat. Tata nilai merupakan aturan atau pandangan
dan anggapan masyarakat, yang digunakan sebagai pedoman dalam menilai sesuatu
dan dalam mengendalikan serta memilih tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari,
atau dengan kata lain, tata nilai adalah suatu kumpulan norma yang diakui oleh
masyarakat, dan digunakan sebagai pedoman dalam menentukan sikap selanjutnya.
Tata nilai
masyarakat banyak terbentuk dari kepercayaan dan pengakuan umum masyarakat
secara umum, yang diperoleh dari pengetahuannya dan pengalamannya dalam
mengamati, merasakan, dan mengenali realitas hidupnya sehari-hari, karena
realitas kehidupan manusia yang dialami masyarakat ini terus mengalami
perubahan-perubahan, maka hasil pengamatan, perasaan dan pengalamannya pun ikut
mengalami perubahan. Hal ini berakibat timbulnya kepercayaan dan pengakuan
masyarakat terhadap hal-hal yang dulunya belum dipercayai dan belum diakui.
Perubahan
pandangan masyarakat yang demikian, dapat memberikan dampak positif apabila
disertai dengan kearifan diri, dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana
yang madlarat, mana yang maslahah dan mana yang mafsadah, mana yang harus
dipakai dan mana yang harus dibuang.
Kekayaan dan keanekaragaman budaya di Indonesia umumnya dan di Pacitan
khususnya telah dikenal dan diakui oleh bangsa-bangsa di dunia. Setiap
masyarakat bangsa di dunia memiliki kebudayaan meskipun bentuk dan coraknya
berbeda-beda dari masyarakat bangsa satu ke masyarakat bangsa yang lainya.
Kebudayaan secara jelas menampakkan kesamaan kodrat manusia dari berbagai suku,
bangsa dan ras.
Kebudayaan mempunyai pengertian keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan mielik
dari manusia dengan belajar. Hasil kebudayaan yang merupakan cipta, rasa, dan
karsa manusia meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan atau agama, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan
yang didapat manusia sebagai masyarakat, Sebagai salah satu wujud rasa budaya
manusia seni mempunyai beberapa unsur yaitu: seni rupa, seni sastra, seni
suara, seni tari, seni musik, dan drama (Koentjaraningrat,1983:
180).
Bangsa
Indonesia khususnya masyarakat Jawa memiliki kesenian tradisional wayang yang
merupakan intisari kebudayaan masyarakat jawa yang diwariskan secara
turun-temurun. Bagi manusia Jawa wayang merupakan pedoman hidup bagaimana
mereka bertingkah laku dengan sesamanya, bagaimana menyadari hakikatnya sebagai
manusia dan bagaimana dapat berhubungan dan mencapai penciptanya. Pertunjukan
wayang kulit khususnya di Jawa daerah Pacitan masih saja digemari oleh
masyarakat, karena pertunjukan wayang kulit itu berisi hal-hal yang diperlukan
dalam kehidupan manusia baik dalam hal-hal keduniawian (lahiriah) maupun dalam
lapangan mental (batiniah). Bagi orang jawa dunia pewayangan mengandung
ajaran-ajaran filsafat dan simbolisme dalam kehidupan manusia.
Menurut
bapak Sukarnen sebagai informan, Desa Hadiluwih Kecamatan Ngadirojo merupakan
salah satu desa di Kabupaten Pacitan yang masyarakatnya merupakan penggemar
wayang, meskipun beberapa kesenian tradisional berkembang di desa tersebut
antara lain: campursari, dangdut dan lain-lain. Setiap mengadakan acara-acara
khusus seperti peringatan Hari Ulang
Tahun Kemerdekaan Indonesia, syukuran perkawinan, khitanan, ternyata pementasan
wayang kulit menjadi pilihan utama sebagai hiburan masyarakat Desa Hadiluwih
khususnya, tetapi bagi kalangan remaja kesenian wayang kulit kurang digemari,
namun dengan adanya modifikasi penampilan seperti lawak dan lain-lain para
generasi muda akhirnya juga ikut menggemari dan memeriahkan pementasan wayang
kulit yang ada di Desa Hadiluwih serta melestarikan salah satu budaya warisan
nenek moyang.
Pementasan
wayang kulit memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Desa Hadiluwih, ini
terbukti dengan semakin banyaknya peminat dan pengemar wayang kulit, baik dari
kalangan generasi muda maupun para orang tua. Setiap kali ada pertunjukan
wayang kulit masyarakat Desa Hadiluwih berbondong-bondong selalu menyaksikan
meskipun lokasi tempat tinggal mereka jauh, dari tempat diadakanya pementasan
seni wayang kulit, dan wayang kulit merupakan media untuk melestarikan
nilai-nilai budaya.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
1.
Kurang adanya minat
para generasi penerus untuk melestarikan seni wayang kulit di Desa Hadiluwih,
Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan.
2.
Kurangnya pemahaman
masyarakat Desa Hadiluwih, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan terhadap
makna seni wayang kulit.
3.
Kurangnya kesadaran
masyarakat Desa Hadiluwih, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan untuk mengetahui
nilai-nilai seni wayang kulit.
C.
Pembatasan Masalah
Dari berbagai identifikasi
masalah di atas penulis membatasi materi yang akan dibahas pada penelitian ini
yaitu ”Pelestarian Nilai-nilai Budaya Melalui Pementasan Seni Wayang Kulit di
Desa Hadiluwih, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan”.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perkembangan seni wayang kulit di Desa Hadiluwih, Kecamatan Ngadirojo,
Kabupaten Pacitan?
2. Bagaimanakah makna dan simbolisme pementasan wayang kulit di Desa Hadiluwih, Kecamatan
Ngadirojo, Kabupaten Pacitan?
3. Bagaimana upaya pelestarian masyarakat Desa Hadiluwih,
Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan terhadap kesenian wayang kulit?
E.
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan
perumusan masalah tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui perkembangan seni wayang kulit yang
ada di Desa Hadiluwih, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan.
2. Untuk mengetahui makna dan simbolisme seni wayang kulit di Desa Hadiluwih, Kecamatan
Ngadirojo, Kabupaten Pacitan.
3. Untuk mengetahui upaya pelestarian masyarakat Desa Hadiluwih
,Kecamatan Ngadirojo ,dalam kesenian wayang kulit.
F.
Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, peneliti mengharapkan adanya kegunaan atau
manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Manfaat
Teoritis
a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dalam mengembangkan dan melestarikan seni wayang kulit sebagai salah satu
perwujudan aspek budaya warisan nenek moyang.
b. Dengan penelitian ini diharapkan bisa jadi
pengembangan wawasan dan pengetahuan, peningkatan kapasitas peneliti dan sebagai
tambahan referensi dalam proses
pembelajaran atau studi khusus pada mata kuliah sejarah bagi peneliti dan
pembaca tentang pementasan seni wayang kulit.
2. Manfaat
Praktis
a. Bagi Peneliti
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman untuk pengembangan
Sejarah budaya.
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada masyarakat untuk
melestarikan seni wayang kulit yang merupakan budaya peninggalan dari nenek
moyang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1.
Pelestarian
Pelestarian
adalah suatu usaha yang dilakukan oleh generasi penerus untuk meneruskan suatu
kebudayan agar kebudayaan tersebut masih tetap hidup didalam lingkungan
masyarakat. Wayang kulit, sebuah peninggalan berharga dari nenek moyang yang
ternyata telah berusia lebih dari lima abad. Sebuah seni pertunjukan yang
sampai detik ini masih diminati oleh banyak orang khususnya masyarakat Desa
Hadiluwih, dan tentunya masih menyimpan sejuta pesan dibalik kesederhanaannya.
Sesuai penjelasan bapak Sidik (wawancara pada tanggal 02 Juli 2014.
Wayang
kulit secara umum dimainkan dalam dua versi, yaitu versi Ramayana dan versi
Mahabarata. Di mana versi Ramayana menceritakan tentang riwayat Ramawijaya,
Rahwana dan lain sebagainya, sementara dalam versi Mahabarata memiliki tampilan
gambaran sifat-sifat manusia yang kompleks. Walaupun Pandawa mewakili hal-hal
yang terkait dengan kebenaran tetapi tidak lepas dari keburukan, itulah sifat
manusia. Begitu juga, Kurawa yang mewakili sifat-sifat buruk, tetapi ada juga
baiknya. Misalnya, Yudistira yang dikatakan sebagai orang suci dan jujur,
tetapi Yudistira menjerumuskan saudara-saudaranya kesengsaraan dalam perjudian.
Mengapa dunia ini ada keburukan (Kurawa), agar dunia ini seimbang (Asmoro
Achmadi, 2004: 71-72).
Masyarakat
Desa Hadiluwih mementaskan pertunjukkan wayang kulit yang dikemas dengan sangat
menarik. Iringan yang terdengar damai tentunya mengandung berbagai filosofi
yang berorientasi pada pedoman-pedoman hidup. Pertunjukan wayang kulit tidak
lepas dari peran seorang dalang. Dalang tidak hanya mempertunjukkan keunikan
wayang kulitnya saja, tetapi dengan wayang kulit seorang dalang berusaha untuk
selalu menyampaikan berbagai pesan berharga untuk kita ambil manfaatnya. Tema
yang diambil oleh seorang dalang kebanyakan mengambil dari kehidupan
sehari-hari dari masyarakat Desa Hadiluwih, sangat tepat untuk disampaikan
kepada generasi muda khususnya masyarakat Desa Hadiluwih, yaitu sebuah budaya
tradisional yang saat ini semakin terpinggirkan oleh kemajuan zaman. Sesuai
penjelasan bapak Tias Singgih (wawancara pada tanggal 03 Juli 2014).
Bahasa
Daerah, itulah esensi pesan yang disampaikan selama pertunjukkan berlangsung.
Sebuah pertunjukkan yang mengingatkan kita sebagai generasi muda bahwa betapa
pentingnya sebuah bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa. Salah satu usaha
pelestarian budaya tradisional adalah harus mengetahui Bahasa Jawa. Saat ini
banyak sekali para orang tua yang justru membiasakan para anak-anaknya
berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia, bukan lagi Bahasa Jawa. Mereka merasa
bahwa saat ini menggunakan Bahasa Jawa sudah tidak zamannya lagi. Selain itu
juga Bahasa Jawa terlalu banyak tingkatannya, sehingga lebih sulit untuk
dipahami (Koentjaraningrat, 1965: 77-78).
Secara
intonasi, penggunaan Bahasa Jawa lebih sopan dan enak untuk didengar, sementara
jika menggunakan Bahasa Indonesia dengan kalimat yang sama, intonasinya akan
berbeda dan terdengar biasa saja, bahkan terkadang terdengar kasar. Penggunaaan
Bahasa Jawa juga dapat mendidik budi pekerti seorang anak sejak usia dini.
Terbiasa berkata sopan dan lemah lembut kepada siapapun. Selain itu, Bahasa
Jawa juga merupakan garis besar budaya tradisional, oleh karena itu, jika kita
ingin budaya kita maju, alangkah lebih baiknya jika kita sebagai generasi muda
senantiasa memelihara serta melestarikan budaya tradisional termasuk Bahasa Jawa
(Koentjaraningrat,
1965: 79).
2.
Nilai-nilai
Budaya
Di
dalam kebudayaan wayang kulit menghasilkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pelestarian
Wayang Kulit, yaitu:
a.
Nilai tolong
menolong antar sesama anggota masyarakat
Sikap
tolong-menolong ditunjukkkan oleh masyarakat Desa Hadiluwih dalam kehidupan
sehari-hari. Faktanya, ketika ada hajatan ruwatan, menantu, kematian,
mendirikan rumah, dan sebagainya, mereka datang memberikan bantuan tenaga dan
fikirannya dengan iklas kepada yang punya hajat.
b.
Nilai
kerukunan
Nilai kerukunan masyarakat
Desa Hadiluwih ditunjukkan dalam hidup sehari-hari, baik dengan keluarga,
tetangga maupun dengan orang lain seperti aparat desa, kecamatan, dan kepada
peneliti sendiri sejak datang untuk mengadakan penelitian, dan membantu
peneliti dengan tanpa pamrih sedikitpun. Masyarakat Desa Hadiluwih saling
menghormati dengan sesama manusia, hidup rukun saling mambantu dan saling
menghargai
c.
Nilai
kearifan lingkungan hidup
Nilai kearifan
lingkungan hidup masyarakat Desa Hadiluwih diwujudkan dalam bentuk tetap
menjaga kelestarian lingkungan hidup mulai dari memelihara sumber air,
kelestarian hutan, tanaman obat, buah-buahan, kelestarian binatang unggas,
binatang hutan dan ternak.
d.
Nilai
keagamaan masyarakat
Dari segi nilai keagamaan,
masyarakat Desa Hadiluwih mayoritas beragama islam, namun masih banyak yang
mengenyam pendidikan rendah dan masih meyakini adanya roh, danyang, setan
penunggu pohon dan batu, sehingga adat jawa sampai sekarang masih dilestarikan
oleh masyarakat Desa Hadiluwih. Sesuai penjelasan bapak Basuki (wawancara pada tanggal 27 Juni 2014).
3. Pengertian Wayang
Dalam
bahasa Jawa wayang berarti “bayangan”. Dalam bahasa melayu disebut
bayang-bayang. Akar kata dari Wayang adalah yang akar kata ini bervariasi
dengan yuang, yang, antara lain
terdapat dalam kata laying, terbang, doyong, miring, tidak stabil, royong-payingan “berjalan sempoyongan”,
tidak tenang dan sebagainya. Awalan wa
dalam bahasa Jawa kuno memiliki fungsi tata bahasa, seperti terdapat pada kata wahiri yang berarti “iri hati”, cemburu
(Haryanto. S, 1995: 36-39).
Boneka-boneka
yang digunakan dalam pertunjukan itu berbayangan atau member bayang-bayang maka dinamakan Wayang. A-Wayang atau hawayang pada waktu itu berarti bergaul
dengan Wayang, mempertunjukan Wayang”, Lambat laut Wayang menjadi nama dari
pertunjukan, baying-bayang atau
pentas baying-bayang (Sri Mulyono,
1978: 9-10).
Jadi
kesimpulannya kata Wayang berasal dari dua suku kata wa dan yang berarti
bayangan yang berasal dari boneka-boneka yang di gerakkan dengan mengunakan
sarana penenang agar bayangan tersebut tercipta pada layar. Pertunjukan
baying-bayang tersebut akhirnya digunakan untuk member nama Wayang.
Seni
pewayangan dan seni pendalangan yang mengandung seni dan filsafat itu, teryanta
sangat digemari serta dihayati oleh berbagai lapisan masyarakat. Pagelaran
wayang mempunyai fungsi lain sebagai tontonan atau hiburan dari tuntunan.
(1)
Wayang Sebagai Tontonan Atau Hiburan
Bagi sebagian masyarakat menganggap wayang
sebagai tontonan atau hiburan. Hal ini terlihat karena dalam pagelaran wayang
kulit menampilkan beberapa unsur seni antara lain: seni suara, seni tari, seni
sastra. Melalui keahlian dhalang yang memainkan wayang dengan bahasa yang
ngepop dapat menarik perhatian penonton dalam menikmati hiburan yang disajikan
berupa lagu-lagu maupun cerita- cerita lucu yang diucapkan dalang lewat
punakawan pada saat “gara-gara“.
Penonton dengan spontanitas bereaksi meriah ketika dhalang mulai menyindir
tentang perkembangan jaman sekarang ini seperti biaya masuk ke perguruan tinggi
yang mahal, kredit motor yang memburu-buru pegawai negeri rendahan. Juga tepuk
tangan yang berderai untuk sindiran lembut kepada wakil rakyat yang terkantuk-kantuk
pada saat sidang, atau lelucon yang sedikit menyerempet dunia pornografi. Dari
sindiran-sindiran yang disisipkan Ki dhalang dalam pagelarannya tampak
pagelaran tersebut telah beralih fungsi sebagai tontonan hiburan.
(2)
Wayang Sebagai Sumber Pendidikan Budi Pekerti
Melalui cerita-cerita pewayangan, baik yang
bersumber cerita-cerita pewayangan maupun cerita-cerita carangan (gubahan)
apabila kita menghayatinya, cerita-cerita
tersebut pada umumnya berisi pencerminan dari suri tauladan mengenai perihidup
dan kehidupan manusia, yang betul-betul menginginkan masyarakat tata tentrem kerta raharja (aman dan
makmur) (S. Haryanto, 1998: 2).
4. Sejarah Wayang
Wayang
sebagai karya budaya nenek moyang bangsa Indonesia berkembang pesat sejak
Indonesia pada zaman pra sejarah hingga Indonesia mencapai kemerdekaan. Melalui
zaman kebudayaan Hindu dan zaman
kebudayaan Islam yang dikendalikan oleh penguasa. dari kerajaan-kerajaan di
Jawa, seni pewayangan mampu member suri toladan bagi kehidupan pribadi manusia.
Dari
segi historis bersumber pada kitab Ramayana dan Mahabrata yang berasal dari
India. Dengan melahirkan kebudayaan serta agama hindu masuk ke Indonesia (S.
Haryanto, 1998 : 309).
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian
mengenai Pelestarian Nilai-nilai budaya melalui pementasan wayang kulit kebanyakan
dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemampuan sebuah Pelestarian
nilai-nilai budaya melalui pementasan wayang kulit dalam mempengaruhi
masyarakat. Penelitian sebelumnya tentang Wayang Kulit yang relevan dengan penelitian ini
pernah dilakukan oleh Andri Susanto 2011, dengan judul Wayang Beber Dan Perkembangan Islam Jurusan Pendidikan Sejarah UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kesimpulan
yang terdapat dalam skripsi ini adalah tradisi kebudayaan ini sangatlah dijaga
keberlangsungannya secara turun temurun dan merupakan suatu kewajiban generasi
muda yang merupakan generasi penerus dari para orang-orang terdahulu untuk
dapat melestarikannya. Kebudayaan adalah merupakan suatu bentuk identitas suatu
masyarakat yang dapat mengindikasikan ciri-ciri masyarakat tersebut dari
masyarakat luas lainnya. Identitas suatu masyarakat pun dapat menjadi identitas suatu bangsa yang
mencerminkan bagaimana bangsa tertentu tersebut.
Penelitian
yang dilakukan oleh Indri Prihatini Sigit dengan judul Persepsi Masyarakat Terhadap Makna Pementasan Wayang Kulit di Desa
Banyubiru. IKIP Veteran Semarang, 2005. Jurusan Pendidikan Sejarah.
Kesimpulan dalam
penelitian tersebut adalah motif masyarakat Semarang mengadakan pagelaran
wayang kulit. Pertama, untuk mengetahui makna dan simbolisme yang terdapat pada
wayang kulit dan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pementasan
wayang kulit di Desa Banyubiru Kecamatan Banyubiru.
C. Kerangka pikir
Kebudayaan
yang tampak dalam wilayah indonesia ini beraneka ragam coraknya, sesuai dengan
keanekaragaman adat istiadat daerah. Kesenian tradisional wayang kulit
merupakan salah satu kekayaan budaya nasional yang adhiluhung , maka pantaslah
apabila kita lestarikan dan kita pelajari sungguh–sungguh karena didalamnya
terkandung makna yang sarat dengan ajaran-ajaran budi pekerti yang luhur.
Wayang
kulit tidak hanya sekedar sebagai hiburan untuk ditonton tetapi lebih dari itu
diharapkan sebagai tuntunan tingkah laku manusia khususnya masyarakat Jawa dan
bangsa Indonesia pada umumnya. Persepsi masyarakat diartikan sebagai tanggapan
atau penerimaan langsung dari suatu hal/masalah oleh sekelompok manusia yang
berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan
terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Suatu hal atau masalah yang dimaksut
adalah makna dari pementasan wayang kulit
Gambar I
BAGAN
KERANGKA PIKIR
D. Pertanyaan Penelitian
1.
Bagaimanakah perkembangan seni wayang
kulit di Desa Hadiluwih Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Pacitan?
2.
Bagaimanakah makna dan simbolisme
pementasan wayang kulit di Desa Hadiluwih Kecamatan Ngadirojo Kabupaten
Pacitan?
3.
Bagaimana upaya pelestarian masyarakat Desa Hadiluwih Kecamatan Ngadirojo
Kabupaten Pacitan terhadap kesenian wayang kulit?
0 Response to "CONTOH SKRIPSI SEJARAH BAB I & II"
Post a Comment